Social Icons

Sep 25, 2013

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Seseorang

Setiap organisme, baik manusia maupun hewan, pasti mengalami peristiwa perkembangan dalam hidupnya. Perkembangan ini meliputi seluruh bagian dengan keadaan yang dimiliki oleh organisme tersebut, baik yang bersifat konkret maupun yang bersifat abstrak. Jadi, arti peristiwa perkembangan itu khususnya perkembangan manusia tidak hanya tertuju pada aspek psikologis saja, tetapi juga aspek biologis. Pada tulisan singkat ini saya akan menjelaskan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan seseorang

Secara singkat, perkembangan adalah proses atau tahapan pertumbuhan ke arah yang lebih maju. Pertumbuhan sendiri berarti tahapan peningkatan sesuatu dalam hal jumlah, ukuran, dan arti pentingnya. Pertumbuhan juga dapat berarti sebuah tahapan perkembangan ( a stage of development). [McLeod, 1989].

Dalam mempelajari perkembangan manusia diperlukan adanya perhatian khusus mengenai hal-hal sebagai berikut:

1. Proses pematangan, khususnya pematangan fungsi kognitif;
2. Proses belajar;
3. Pembawaan atau bakat.

Ketiga hal ini berkaitan erat satu sama lain dan saling berpengaruh dalam perkembangan kehidupan manusia. Apabila fungsi kognitif, bakat dan proses belajar seseorang dalam keadaan positif, hampir dapat dipastikan orang tersebut akan mengalami proses perkembangan kehidupan secara mulus. Akan tetapi, asumsi yang "menjanjikan" seperti ini sebenarnya belum tentu terwujud, karena banyak faktor yang berpengaruh terhadap proses perkembangan seseorang dalam menuju cita-cita bahagianya.

Adapun mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan seseorang, para ahli berebeda pendapat lantaran sudut pandang dan pendekatan mereka terhadap eksistensi seseorang tidak sama. Untuk lebih jelasnya, berikut ini sedikit pemaparan mengenai aliran-aliran yang berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan siswa.

a. Aliran Nativisme
Nativisme adalah sebuah doktrin filosofis yang berpengaruh cukup besar. Tokoh utama aliran bernama Arthur Schopenhauer (1788-1860) seorang filosof Jerman. Aliran ini konon dijuluki sebagai aliran pesimistis yang memandang segala sesuatu dengan kacamata hitam. Mengapa demikian? Karena para ahli penganut aliran ini berkeyakinan bahwa perkembangan manusia itu ditentunkan oleh pembawaannya, sedangkan pengalaman dan pendidikan tidak berpengaruh apa-apa. Dalam ilmu pendidikan, pandangan seperti ini disebut “ pesimisme pedagogis “.

Sebagai contoh, jika sepasang orangtua ahli musik, maka anak-anak yang mereka lahirkan akan menjadi pemusik pula. Harimau pun hanya akan melahirkan harimau, tak akan pernah melahirkan Domba. Jadi, pembawaan dan bakat orangtua selalu berpengaruh mutlak terhadap perkembangan kehidupan anak-anaknya. Benarkah anggapan semacam ini dapat terus bertahan?, jika benar lalu bagaimana jika kita perhatikan contoh berikut ini. Sepasang suami-istri yang memiliki keistimewaan di bidang politik, tentu anaknya menjadi politikus pula. Namun, apabila lingkungan, khususnya lingkungan pendidikannya tidak menunjang, misalnya karena ia memasuki sekolah pertanian, sudah tentu ia tak akan pernah menjadi politisi tetapi petani.

Aliran nativisme hingga kini masih cukup berpengaruh di kalangan beberapa orang ahli, tetapi sudah tidak semutlak dulu lagi. Di antara ahli yang dipandang sebagai nativis adalah Noam A. Chomsky kelahiran 1928, seorang ahli linguistik yang terkenal hingga saat ini. Chomsky menganggap bahwa perkembangan penguasaan bahasa pada manusia tidak dapat dijelaskan semata-mata oleh proses belajar, tetapi juga yang lebih penting oleh adanya kecenderungan biologis yang di bawa sejak lahir.

b. Aliran Empirisisme
Kebalikan dari aliran nativisme adalah aliran empirisisme dengan tokoh utama John Locke (1632-1704). Nama asli aliran ini adalah “The school of British Empiricism” (aliran empirisisme Inggris). Namun aliran ini lebih berpengaruh terhadap para pemikir Amerika Serikat, sehingga melahirkan sebuah aliran bernama “environmentalisme” (aliran lingkungan) yang relatif masih baru (Reber, 1988).

Doktrrin aliran empirisisme yang amat masyhur adalah “tabula rasa”, sebuah istilah bahasa Latin yang berarti batu tulis kosong atau lembaran kosong. Doktrin ini menekankan arti penting pengalaman, lingkungan, dan pendidikan dalam arti perkembangan manusia itu semata-mata bergantung pada lingkungan dan pengalaman pendidikannya, sedangkan bakat dan pembawaan sejak lahir di anggap tidak ada pengaruhnya. Dalam hal ini, para penganut empirisisme menganggap setiap anak lahir seperti tabula rasa, dalam keadaan kosong, tak punya kemampuan dan bakat apa-apa. Hendak menjadi apa seorang anak kelak bergantung pada pengalaman/lingkungan yang mendidiknya.

Jika seseorang memperoleh kesempatan yang memadai untuk mempelajari ilmu politik, tentu kelak ia akan menjadi seorang politisi. Karena ia memiliki pengalaman belajar di bidang politik, ia tak akan pernah jadi pemain bola, walaupun orangtuanya seorang atlet dunia semisal Cristiano Ronaldo.

Memang amat sukar dimungkiri bahwa lingkungan memiliki pengaruh besar terhadap proses perkembangan dan masa depan seseorang. Dalam hal ini, lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat sekitar telah terbukti menentukan tinggi rendahnya mutu perilaku dan masa depan seseorang. Kondisi sebuah kelompok masyarakat yang berdomisili di kawasan kumuh dengan kemampuan ekonomi di bawah garis rata-rata dan tanpa fasilitas umum seperti masjid, sekolah, dan lapangan olah raga telah terbukti menjadi lahan yang subur bagi pertumbuhan anak-anak nakal. Anak-anak dilingkungan seperti ini memang tak punya cukup alas an untuk tidak menjadi brutal, lebih-lebih apabila kedua orangtuanya kurang atau tidak berpendidikan.

Namun demikian, perlu juga di kemukakan sebuah ironi faktual, yakni diantara anak-anak yang di juluki nakal dan brutal khususnya di kota-kota ternyata cukup banyak yang muncul dari kalangan keluarga berada, terpelajar, dan bahkan taat beragama. Sebaliknya, tidak sedikit anak pintar dan berakhlak baik yang lahir dari keluarga bodoh dan miskin atau bahkan dari keluarga yang tidak harmonis disamping bodoh dan miskin. Jadi, sejauh manakah validitas doktrin empirisisme yang telah memunculkan “optimism pedagogis” itu dapat bertahan?

c. Aliran Konvergensi
Aliran konvergensi merupakan gabungan antara aliran empirisisme dengan aliran nativisme. Aliran ini menggabungkan arti penting hereditas (pembawaan) dengan lingkungan sebagai faktor-faktor yang berpengaruh dalam perkembangan manusia. Tokoh utama konvergensi bernama Louis William Stern (1871-1938) seorang filsof dari Jerman.

Dalam menetapkan faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia, Stern dan para ahli yang mengikutinya tidak hanya berpegang pada lingkungan/pengalaman juga tidak berpegang pada pembawaan saja, tetapi berpegang pada kedua faktor yang sama pentingnya itu. Faktor pembawaan tidak berarti apa-apa jika tanpa faktor pengalaman. Demikian pula sebaliknya, faktor pengalaman tanpa faktor bakat pembawaan tak akan mampu mengembangkan manusia yang sesuai dengan harapan.

Para penganut aliran ini, berkeyakinan bahwa baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan andilnya sama besar dalam menentukan masa depan seseorang. Jadi, seseorang yang lahir dari keluarga santri atau kiayi, umpamanya, kelak ia akan menjadi ahli agama apabila ia di didik di lingkungan pendidikan keagamaan. untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh berikut:

Seorang anak yang normal pasti memiliki bakat untuk berdiri tegak di atas kedua kakinya. Tetapi apabila anak tersebut tidak hidup di lingkungan masyarakat manusia, misalnya kalau dia di buang ke tengah hutan belantara dan tinggal bersama hewan, maka bakat berdiri yang ia miliki secara turun-temurun dari orangtuanya itu, akan sulit diwujudkan. Jika anak tersebut diasuh oleh sekelompok kera, tentu ia akan berjalan di atas kedua kaki dan tangannya. Dia akan merangkak seperti kera pula. Jadi, bakat dan pembawaan dalam hal ini jelas tidak ada pengaruhnya apabila lingkungan atau pengalaman tidak mengembangkannya.

Sampai sejauh manakah pengaruh pembawaan jika dibandingkan dengan lingkungan terhadap perkembangan masa depan seseorang?, jawabannya mungkin berbeda dari setiap orang. Sebagian orang mungkin lebih banyak ditentukan oleh faktor lingkungannya. Namun dalam hal pembawaan yang bersifat jasmaniah hampir dapat dipastikan bahwa semua orang sama, yakni akan bentuk badan, berambut, dan bermata sama dengan kedua orangtuanya. Sebagai contoh, anak-anak keturunan Barat umumnya berambut pirang, berkulit putih, bermata biru, dan berperawakan tinggi besar, karena memang warisan orangtua dan nenek moyangnya demikian. Akan tetapi, dalam hal pembawaan yang bersifat rohaniah sangat sulit kita kenali. Banyak orang yang ahli di bidang “X” tetapi anaknya ahli di bidang “Y”. Anak ini sudah di usahakan agar mempelajari bidang “X” supaya sama dengan orang tuanya, tetapi ia menolak dan menunjukkan kecenderungan bakat “Y”. Ternyata setelah mengikuti pengajaran bidang “Y”, anak yang berasal dari keturunan yang ahli di bidang “X” itu benar-benar ahli di bidang “Y” bukan bidang “X”. Apakah anak tersebut telah menyalahi bakat dan pembawaan keturunannya?.

Banyak bukti yang menunjukkan, bahwa watak dan bakat seseorang yang tidak sama dengan orang tuanya itu, setelah di telusuri ternyata watak dan bakat orang tersebut sama dengan kakek atau ayah/ibu kakeknya. Dengan demikian, tidak semua bakat dan watak seseorang dapat di turunkan langsung kepada anaknya, tapi mungkin kepada cucunya atau anak-anak cucunya. Alhasil, bakat dan watak dapat tersembunyi sampai beberapa generasi. Lalu bila demikian apakah aliran konvergensi sebagaimana tersebut di atas dapat kita jadikan pedoman dalam arti bahwa perkembangan seseorang pasti bergantung kepada pembawaan dan lingkungan pendidikannya? Samapai batas tertentu aliran ini dapat kita terima, tetapi tidak secara mutlak. Sebab masih ada satu hal lagi yang perlu kita ingat yakni potensi tertentu yang juga tersimpan rapi dalam diri setiap orang dan sulit diidentifikasi.

Dari seluruh uraian di atas, yang berhubungan dengan proses perkembangan dapat di simpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi tinggi-rendahnya mutu hasil perkembangan seseorang pada dasarnya terdiri atas dua macam:

1. Faktor Intern, yaitu faktor yang ada dalam diri setiap individu yang meliputi pembawaan dan potensi psikologis tertentu yang turut mengembangkan dirinya sendiri.

2. Faktor Eksternal, yaitu hal-hal yang datang atau ada di luar stiap individu yang meliputi lingkungan (khususnya pendidikan) dan pengalaman berinteraksi orang tersebut dengan lingkungannya.

Wallahu’alam….

Di tulis dari buku “Psikologi Pendidikan” karangan Prof. Dr. Muhibbin Syah.

No comments:

Post a Comment