Seri 2. Sebuah Catatan Perjalanan dengan Bapak Houtman Zainal Arifin
Belum lama dari Allah memanggilmu keharibaanMu, aku berkesempatan menemanimu dan Ibu berkeliling Jogja. Bukan untuk perjalanan bisnis. Tapi perjalanan berbagimu. Bersama teman teman dari Jakarta, aku selama seharian menemani perjalananmu menyusuri pinggir pinggir sungai dan berakhir di sebuah mesjid di samping pasar Beringharjo. Nampak ratusan mbok mbok buruh panggul dan tukang becak sudah menantimu di siang itu. Bungkusan sembako dan amplop putih telah disiapkan. Kau pun didaulat untuk berbicara memberikan sambutan. Satu yang tak pernah lepas darimu, santun dan tak berlama – lama berpidato. Kau mungkin tak rela duafa ini terlalu lama menunggu tuk mendapat sembako. Engkau pun tau mungkin diantara mbok mbok panggul dan tukang becak ini akan kehilangan jatah uangnya/nariknya di hari itu bila kau terlalu lama berbicara. Beda dengan orang kebanyakan yang sangat formal,senang memberi pembukaan panjang saat akan memberikan bantuan. Kau tampak sangat renyah bergaul dengan mereka. Berkali kali kau minta kami foto nenek – nenek tua yang ada disana, seolah kau berkata kepada kami yang muda ini, "Nak, kebahagiaan yang sejati itu ada dalam memuliakan mereka yang duafa itu".
Oh, Duhai ALLAH.. terimakasih Engkau izinkan aku berada disana. Balutan Ar Rahmaan Ar Raahiim mengalir deras dalam sosoknya dan sosok istrinya. Aku pun sempat menikmati segelas es cendol bersamanya di Malioboro. Bersama temen temen lainnya kami dengan renyah bercanda dan ngobrol. Seolah kau tak takut orang bilang, "Hah, seorang mantan vice president Citibank itu mau duduk menikmati cendol kaki lima?". Bahkan perhatianmu tak lepas pada pengamen pengamen dan pengemis yang kadang lewat di depan tempat dudukmu. Kau selalu bilang, jangan membenci pengamen pengamen itu. Mintalah mereka menyanyi yang baik, justru mereka tidak akan mengganggu makanmu.
Kau keluarkan uang bukan seribu atau dua ribu untuk tunjukkan perhatianmu pada mereka. Aku jarang melihatmu mengeluarkan uang kecil saat ada pengamen lewat atau pengemis yang lewat. Semakin petang hari menjelang semakin tak habis bersyukurku, Allah menghadirkanku bersamamu di hari itu. Kau pun membuat seorang tua renta dijalan yang kau lewati terbingung bingung. Orang tua itu bingung kenapa tiba tiba ada orang yang memberinya uang begitu banyak lalu orang itu pergi begitu saja. Mungkin katamu, hatiku tak pernah rela melihat orang menderita tanpa ku tolong. Duhai Allah,hatiku pun semakin merinding. Petang pun merayap, bahkan dingin malam mulai menusuk tulang. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, namun tak juga menyurutkan langkahmu menutup malam itu dengan berbagi. Mobil terhenti di lapangan alun alun keraton, dengan cepat kau minta kami menyebar, membawa beberapa lembar uang Rp 50.000,- untuk kami cari pemulung dan tunawisma-tunawisma yang harus berselimut dingin di pinggiran jalanan Jogjakarta.
Subhanallah….Bapak Houtman Zainal Arifin, maafkan ananda menceritakan ini. Aku tau kau justru ingin menutup rapat ini, tapi ijinkan kami yang muda belajar dari kisahmu. Smoga kami mampu sepertimu. Mampu mencontoh Rosululloh yang tak pernah menolak seseorang yang meminta bantuan padanya. Bahkan ijinkan kami kelak juga bisa mendapat syafaat surga sepertimu dari mbok mbok panggul, tukang becak, pemulung dan juga tunawisma yang kau bantu dihari itu.
Assalamualaika Ya Ahli Kubur, semoga kuburmu terang kini dengan "syafaat" duafa – duafa itu..
Bandung, 22 Desember dalam kerinduan sepeninggal kepergianmu
Damayanti
Direktur AHa Self Inspiration Center
Oh, Duhai ALLAH.. terimakasih Engkau izinkan aku berada disana. Balutan Ar Rahmaan Ar Raahiim mengalir deras dalam sosoknya dan sosok istrinya. Aku pun sempat menikmati segelas es cendol bersamanya di Malioboro. Bersama temen temen lainnya kami dengan renyah bercanda dan ngobrol. Seolah kau tak takut orang bilang, "Hah, seorang mantan vice president Citibank itu mau duduk menikmati cendol kaki lima?". Bahkan perhatianmu tak lepas pada pengamen pengamen dan pengemis yang kadang lewat di depan tempat dudukmu. Kau selalu bilang, jangan membenci pengamen pengamen itu. Mintalah mereka menyanyi yang baik, justru mereka tidak akan mengganggu makanmu.
Kau keluarkan uang bukan seribu atau dua ribu untuk tunjukkan perhatianmu pada mereka. Aku jarang melihatmu mengeluarkan uang kecil saat ada pengamen lewat atau pengemis yang lewat. Semakin petang hari menjelang semakin tak habis bersyukurku, Allah menghadirkanku bersamamu di hari itu. Kau pun membuat seorang tua renta dijalan yang kau lewati terbingung bingung. Orang tua itu bingung kenapa tiba tiba ada orang yang memberinya uang begitu banyak lalu orang itu pergi begitu saja. Mungkin katamu, hatiku tak pernah rela melihat orang menderita tanpa ku tolong. Duhai Allah,hatiku pun semakin merinding. Petang pun merayap, bahkan dingin malam mulai menusuk tulang. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, namun tak juga menyurutkan langkahmu menutup malam itu dengan berbagi. Mobil terhenti di lapangan alun alun keraton, dengan cepat kau minta kami menyebar, membawa beberapa lembar uang Rp 50.000,- untuk kami cari pemulung dan tunawisma-tunawisma yang harus berselimut dingin di pinggiran jalanan Jogjakarta.
Subhanallah….Bapak Houtman Zainal Arifin, maafkan ananda menceritakan ini. Aku tau kau justru ingin menutup rapat ini, tapi ijinkan kami yang muda belajar dari kisahmu. Smoga kami mampu sepertimu. Mampu mencontoh Rosululloh yang tak pernah menolak seseorang yang meminta bantuan padanya. Bahkan ijinkan kami kelak juga bisa mendapat syafaat surga sepertimu dari mbok mbok panggul, tukang becak, pemulung dan juga tunawisma yang kau bantu dihari itu.
Assalamualaika Ya Ahli Kubur, semoga kuburmu terang kini dengan "syafaat" duafa – duafa itu..
Bandung, 22 Desember dalam kerinduan sepeninggal kepergianmu
Damayanti
Direktur AHa Self Inspiration Center