Social Icons

Jun 14, 2012

10 tokoh anak hebat


  1. Nick Vujicic 


Inilah cerita dari seorang pria tampan dan cerdas, serta bersuara indah, yang dilahirkan tanpa kedua lengan dan kedua kaki. Namun ia tetap bersemangat dan bahagia dalam menjalani hidupnya. Ia jago main golf, berselancar, dan berenang. Terlebih, ia juga sukses dalam karirnya. Nick Vujicic (26 tahun), pria Serbia kelahiran Australia itu, memang luar biasa!!

Nick lahir di sebuah rumah sakit di Kota Melbourne pada tanggal 4 Desember 1982. Orangtuanya sangat terkejut ketika melihat keadaan putra mereka yang lahir tanpa dua lengan dan dua kaki. Menurut dokter yang menanganginya, Nick terkena penyakit Tetra-amelia yang sangat langka. Kondisi ini kontan membuat ayah Nick (seorang pemuka agama dan programmer komputer) dan ibu Nick (seorang perawat) bertanya-tanya dalam hati, kesalahan besar apa yang telah mereka perbuat hingga putranya terlahir tanpa anggota-anggota tubuh. Tak jarang, mereka menyalahkan diri sendiri atas keadaan Nick.

Namun, hal ini tidak berlangsung lama. Ayah dan ibu Nick melihat putranya, biarpun cacat tubuh, tetap tumbuh kuat, sehat, dan ceria - sama seperti anak-anak lainnya. Dan, Nick kecil terlihat begitu tampan serta menggemaskan! Matanya pun sangat indah dan menawan. Maka, mereka mulai bisa menerima keadaan putranya, mensyukuri keberadaannya, dan segera mengajarinya untuk hidup mandiri.
   

Nick memiliki sebuah telapak kaki kecil di dekat pinggul kirinya. Sang ayah membimbingnya untuk berdiri, menyeimbangkan tubuh, dan berenang sejak Nick berusia 18 bulan. Kemudian, dengan tekun dan sabar, sejak usia 6 tahun, Nick belajar menggunakan jari-jari kakinya untuk menulis, mengambil barang, dan mengetik. Kini, Nick menyebut telapak kakinya yang berharga itu sebagai "my chicken drumstick."

Agar bisa hidup lebih mandiri, kuat secara mental, dan bisa bergaul dengan luwes, ibu Nick memasukkan putranya ke sekolah biasa. Segera saja, Nick menyadari bahwa keadaannya sangat berbeda dengan anak-anak lainnya. Ia juga mengalami berbagai penolakan, ejekan, dan gertakan dari teman-teman sekolahnya. Hal ini membuatnya merasa begitu sedih dan putus asa. Pada usia 8 tahun, Nick sempat berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Namun, kasih dan dukungan orangtuanya, serta hiburan dari para sahabatnya, mampu membuat Nick mengenyahkan pikiran tersebut. Ia menjadi lebih bijaksana dan berani dalam menjalani kehidupan.

Pada suatu pagi, saat usia 12 tahun, Nick mendapat pengalaman tak terlupakan. Saat bangun dan membuka matanya, tiba-tiba saja ia menyadari betapa beruntungnya dirinya. Ia sehat, serta punya keluarga dan para sahabat yang menyayanginya. Ia juga hidup dalam keluarga yang berkecukupan.

Setahun kemudian, ketika membaca surat kabar, Nick dan ibunya menemukan sebuah artikel yang sangat menggugah jiwanya. Artikel itu, berkisah tentang seorang pria cacat tubuh yang mampu melakukan hal-hal hebat, termasuk menolong banyak orang. "Pada saat itulah, saya menyadari bahwa Tuhan memang menciptakan kita untuk berguna bagi orang lain. Saya memutuskan untuk bersyukur, bukannya marah, atas keadaan diri sendiri! Saya juga berharap, suatu saat bisa menjadi seperti pria luar biasa itu-yakni bisa menolong dan menginspirasi banyak orang!" demikian ujar Nick, dalam sebuah wawancara.

Untuk meraih mimpinya, Nick belajar dengan giat. Otak yang encer, membantunya untuk meraih gelar Sarjana Ekonomi bidang Akuntansi dan Perencanaan Keuangan pada usia 21 tahun. Segera setelah itu, ia mengembangkan lembaga non-profit ‘Life Without Limbs' (Hidup Tanpa Anggota-Anggota Tubuh), yang didirikannya, pada usia 17 tahun, untuk membantunya berkarya dalam bidang motivasi.


Kini, Nick Vujicic adalah motivator/pembicara internasional yang gilang-gemilang. Ia sudah berkeliling ke lebih dari 24 negara di empat benua (termasuk Indonesia), untuk memotivasi lebih dari 2 juta orang-khususnya kaum muda. Berkali-kali, ia diwawancarai oleh stasiun televisi dengan jangkauan internasional, seperti ABC (pada 28 Maret 2008). Produknya yang terkenal adalah DVD motivasi "Life's Greater Purpose", "No Arms, No Legs, No Worries", serta film "The Butterfly Circus."





"Saya telah memberikan berbagai jenis motivasi kepada orang-orang, berdasarkan pengalaman hidup saya," pungkas Nick di akhir wawancara. "Namun, ada satu hal yang selalu saya katakan pada mereka: ‘Terimalah dan cintai diri kamu sendiri.' Jika satu orang saja bisa melakukannya, kemudian merasa lebih bersemangat dalam menjalani hidup serta ingin berguna bagi orang lain, saya merasa bahwa sebagian tugas saya di dunia ini telah terselesaikan."




2. Hee Ah Lee, Si Pianis dengan Empat Jari



Kalau ada kisah memilukan yang memberikan banyak inspirasi bagaimana cinta ibu bisa membalikkan keterbatasan menjadi tenaga yang luar biasa besar dalam mencapai kesuksesan, kisah Hee Ah Lee lah salah satunya. Hee Ah Lee adalah anak muda Korea yang lahir dalam keadaan cacat. Ia menderita penyakit Lobster Claw Syndrome. Akibatnya, kedua jari tangannya hanya terdapat dua jari yang menyerupai capit kepiting. Lebih menyedihkan lagi, kakinyapun hanya sebatas lutut.

Ibu mana yang tidak pilu menyaksikan anaknya lahir dengan cacat begitu rupa. Seorang anak yang dilahirkannya dan digadang-gadang bisa menjadi permata hati lahir dalam keadaan cacat. Di sinilah peran dan cinta ibu menjadi sangat menentukan. Sang ibu, Woo Kao Sun, tidak putus asa, dengan tabah dan sabar, dididiknya Hee Ah Lee dengan penuh cinta dan kesungguhan. Ia harus membanting tulang menghidupi Hee Ah Lee seorang diri, karena ayah Hee, seorang pensiunan tentara, telah tiada saat Hee masih kecil.

Kepiluan itu bertambah-tambah, saat sang ibu mengetahui, bahwa tidak hanya kaki dan tangannya yang cacat, Hee Ah Lee juga mengalami keterbelakangan mental. Iapun tidak bisa bersekolah di sekolah umum, dan harus bersekolah di sekolah luar biasa. Bersama kawan-kawannya senasib yang mengalami keterbelakangan mental, Hee Ah Lee tetap bersemangat menjalani kehidupannya.

Sang ibu, juga mendidiknya seperti anak-anak yang lain. Ia tidak menganggap anaknya berbeda sehingga mengharuskannya memanjakan pendidikan Hee Ah Lee. Hee Ah Lee dididik untuk bisa menjadi putri yang mandiri dan percaya diri. Diajarkannya berbagai keterampilan hidup sehari-hari, untuk mandi, makan, ganti baju, bebelanja, dan melakukan berbagai hal sendiri, tanpa harus menunggu bantuan orang lain.

Begitulah, walaupun dengan segala keterbatasan yang ada, Hee Ah Lee tumbuh menjadi gadis kecil yang mandiri. Gadis kecil dalam arti sesungguhnya, karena tinggi dan berat tubuhnya yang seharusnya seperti remaja, tetapi hanya tumbuh sebagaimana anak-anak kecil. Tetapi sungguh, kasih sayang dan didikan ibunya tetap membuat Hee Ah Lee tegar menghadapi hidup.

“Terlahir cacat bagiku merupakan anugerah spesial dari Tuhan, ” ujar Hee seperti dikutip dalam buku “The Four Fingered Pianist”. Lambat laun, cacat dan kekurangan hidup tidak lagi menjadikan Hee Ah Lee rendah diri, tetapi hal itu diterima sebagai sebuah anugerah Tuhan. Ya, anugerah karena dari situlah ternyata memunculkan satu potensi yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan.

Ibunya Woo Kap Sun sangat menyayangi buah hatinya. Apapun dilakukannya agar Hee Ah Lee tumbuh menjadi gadis yang mandiri, sama seperti teman sebayanya. Dari situlah, potensi bermain piano ternyata tumbuh dari gadis cacat yang terbelakang mental ini. Ya, sebuah anugerah yang tidak terduga.

Pada awalnya, bermain piano hanyalah saran dari seorang terapisnya agar motorik tangan dan kaki Hee Ah Lee bisa terus bergerak seperti kebanyakan teman-teman lainnya. Bermain musik juga diharapkan menumbuhkan kecerdasan musikal yang bisa jadi merupakan keunggulannya karena di beberapa kecerdasan lain Hee Ah Lee tidaklah menonjol.

Dan masalah itupun dimulai. Belajar memainkan piano untuk anak dengan empat jari bukanlah hal mudah. Tidak ada satupun piano di dunia ini dengan nada yang diperuntukkan bagi orang yang berjari empat. Semuanya diperuntukkan bagi orang yang berjari 10. Karena itulah, pada tahun-tahun pertama, belajar bermain piano menjadi siksaan yang sangat berat buat Hee Ah Lee.

Seperti anak-anak yang lain, gadis kelahiran 9 Juli 1985 itupun sering merajuk dan bahkan hampir berputus asa saat belajar bermain piano. Pada tahun pertama, Hee Ah Lee dengan perjuangan yang sangat keras, hanya bisa menghafalkan satu buah lagu selama satu tahun. Itupun diselingi dengan ngambek, berhenti latihan, berguling-guling, menangis, dan berbagai keputusasaan karena memang pianonya tidak didesain untuk orang dengan empat jari.

Di sinilah, peran sang Ibu, Woo Kap Sun sangat penting. “Bagiku, Hee adalah segalanya, ” demikian ucap Woo Kap Sun. Dengan sabar, ditemaninya Hee Ah Lee berlatih piano, menarikan jari-jarinya di atas tuts piano, dan menaikkan pedal piano agar sesuai dengan kaki Hee Ah Lee yang memang pendek. Semua hal ia lakukan demi masa depan buah hatinya tersayang.

Ia tidak pernah berputus asa, karena ia tahu, masa depan anaknya sangat tergantung atas apa yang dilakukannya hari ini. Jika ia menyerah kepada keadaan, maka akan habislah masa depan anaknya. Karena itulah, rintangan apapun yang ia dapatkan, ia tidak mempedulikannya, semuanya demi satu hal: masa depan anaknya.

Selesai menghapalkan satu lagu, Hee Ah Lee yang belajar piano di National College of Rehabilitation & Welfare mulai mampu mengatasi segala keterbatasannya. Jarinya yang hanya dua di setiap tangan ternyata mampu menekan tuts berurutan secara cepat dan tepat. Dari hari ke hari, permainannya semakin baik. Sehingga lambat laun, ia mulai berani untuk memainkan berbagai lagu dengan komposisi yang mulai rumit.

Untuk menambah percaya diri putrinya, sang Ibu mengajaknya untuk mulai tampil di depan umum. Ibunya juga mengajarkan untuk belajar berpidato di depan umum, sehingga seiring waktu, Hee Ah Lee mulai berani tampil dan berbicara di depan publik. Seiring dengan permainan pianonya yang semakin memikat, Hee Ah Lee mulai tampil dalam berbagai konser yang lebih besar.

Semangat kerja keras dan pantang menyerah yang diwariskan sang ibu, ternyata menular pada Hee Ah Lee. Setiap hari, ia berlatih keras selama 10 jam untuk bisa memainkan komposisi berbagai komponis dunia yang rumit. Dengan latihan bertahun-tahun, akhirnya Hee Ah Lee bisa menguasai dan memainkan dengan sangat baik berbagai karya mereka. Dan dari situ, dimulailah konser The Four Finger Pianist ke berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia.

Di Indonesia, Hee Ah Lee menggelar tour konser di gedung Balai Kartini, Jakarta, 31 Maret 2007 dengan tema: Sharing the Strength of Love. Ya, Hee Ah Lee datang dengan kekuatan cinta, karena dia yakin, sesulit apapun kondisinya, cinta bisa menemukan jalan keluarnya. Hee Ah Lee datang untuk konser kedua kalinya di Indonesia, 8 Agustus 2009, dengan mengambil tema: Dream the Impossible Dream. Ah, sebuah judul konser yang sangat membangkitkan.

Konser yang kedua ini memang ditujukan bagi kawan-kawan Hee Ah Lee yang senasib, sama-sama cacat ataupun terbelakang mentalnya. Semuanya ia gerakkan untuk tidak takut bermimpi, walaupun mimpi itu terasa tidak mungkin. Tetapi dengan keyakinan dan kerja keras, ia meyakinkan kawan-kawan senasibnya, bahwa tidak ada mimpi yang tidak bisa dicapai.

Dan itu semua, terwujud karena CINTA. Cinta ibu kepada anaknya, yang menginginkan anaknya walaupun lahir dengan keterbatasan, walaupun lahir dengan ketidaksempurnaan, walaupun lahir dengan cacat, tetap tumbuh menjadi orang yang berguna, dan bisa mengembangkan potensinya. Cinta itu yang membuatnya sabar mengantar anaknya belajar di sekolah luar biasa, menemani anaknya bertahun-tahun belajar bermain piano, walaupun ia tahu, hal itu tidaklah mudah.

Dan di tengah-tengah konser anaknya, di tempat-tempat yang begitu megah, di tengah-tengah tepuk tangan meriah dari para hadirin karena terpukau dengan permainan piano Hee Ah Lee, ia sering menitikkan air mata. Segala buah kesabaran yang selama ini ia lakukan telah ia petik. Ia tahu, ia begitu sayang dengan puterinya………


Buah hasil dari Cinta, Kasih dan sayang.... yang sangat tak terhingga....membuktikan anugerah yang didapat adalah kebahagiaan yang sempurna....


Cintai & sayangilah orang-orang terdekat anda sekarang juga....sebelum terlambatt...

3. Thomas Alva Edison



Thomas Alva Edison dilahirkan di Milan, Ohio pada tanggal 11 Februari 1847. Tahun 1954 orang tuanya pindah ke Port Huron, Michigan. Edison pun tumbuh besar di sana. Sewaktu kecil Edison hanya sempat mengikuti sekolah selama 3 bulan. Gurunya memperingatkan Edison kecil bahwa ia tidak bisa belajar di sekolah sehingga akhirnya Ibunya memutuskan untuk mengajar sendiri Edison di rumah. Kebetulan ibunya berprofesi sebagai guru. Hal ini dilakukan karena ketika di sekolah Edison termasuk murid yang sering tertinggal dan ia dianggap sebagai murid yang tidak berbakat.

Meskipun tidak sekolah, Edison kecil menunjukkan sifat ingin tahu yang mendalam dan selalu ingin mencoba. Sebelum mencapai usia sekolah dia sudah membedah hewan-hewan, bukan untuk menyiksa hewan-hewan tersebut, tetapi murni didorong oleh rasa ingin tahunya yang besar. Pada usia sebelas tahun Edison membangun laboratorium kimia sederhana di ruang bawah tanah rumah ayahnya. Setahun kemudian dia berhasil membuat sebuah telegraf yang meskipun bentuknya primitif tetapi bisa berfungsi.

Tentu saja percobaan-percobaan yang dilakukannya membutuhkan biaya yang lumayan besar. Untuk memenuhi kebutuhannya itu, pada usia dua belas tahun Edison bekerja sebagai penjual koran dan permen di atas kereta api yang beroperasi antara kota Port Huron dan Detroit. Agar waktu senggangnya di kereta api tidak terbuang percuma Edison meminta ijin kepada pihak perusahaan kereta api, “Grand Trunk Railway”, untuk membuat laboratorium kecil di salah satu gerbong kereta api. Di sanalah ia melakukan percobaan dan membaca literatur ketika sedang tidak bertugas.

Tahun 1861 terjadi perang saudara antara negara-negara bagian utara dan selatan. Topik ini menjadi perhatian orang-orang. Thomas Alva Edison melihat peluang ini dan membeli sebuah alat cetak tua seharga 12 dolar, kemudian mencetak sendiri korannya yang diberi nama “Weekly Herald”. Koran ini adalah koran pertama yang dicetak di atas kereta api dan lumayan laku terjual. Oplahnya mencapai 400 sehari.

Pada masa ini Edison hampir kehilangan pendengarannya akibat kecelakaan. Tetapi dia tidak menganggapnya sebagai cacat malah menganggapnya sebagai keuntungan karena ia banyak memiliki waktu untuk berpikir daripada untuk mendengarkan pembicaraan kosong.

Tahun 1868 Edison mendapat pekerjaan sebagai operator telegraf di Boston. Seluruh waktu luangnya dihabiskan untuk melakukan percobaan-percobaan tehnik. Tahun ini pula ia menemukan sistem interkom elektrik.

Thomas Alva Edison mendapat hak paten pertamanya untuk alat electric vote recorder tetapi tidak ada yang tertarik membelinya sehingga ia beralih ke penemuan yang bersifat komersial. Penemuan pertamanya yang bersifat komersial adalah pengembangan stock ticker. Edison menjual penemuaannya ke sebuah perusahaan dan mendapat uang sebesar 40000 dollar. Uang ini digunakan oleh Edison untuk membuka perusahaan dan laboratorium di Menlo Park, New Jersey. Di laboratorium inilah ia menelurkan berbagai penemuan yang kemudian mengubah pola hidup sebagian besar orang-orang di dunia.

Tahun 1877 ia menemukan phonograph. Pada tahun ini pula ia menyibukkan diri dengan masalah yang pada waktu itu menjadi perhatian banyak peneliti: lampu pijar. Edison menyadari betapa pentingnya sumber cahaya semacam itu bagi kehidupan umat manusia. Oleh karena itu Edison mencurahkan seluruh tenaga dan waktunya, serta menghabiskan uang sebanyak 40.000 dollar dalam kurun waktu dua tahun untuk percobaan membuat lampu pijar. Persoalannya ialah bagaimana menemukan bahan yg bisa berpijar ketika dialiri arus listrik tetapi tidak terbakar. Total ada sekitar 6000 bahan yang dicobanya. Melalui usaha keras Edison, akhirnya pada tanggal 21 Oktober 1879 lahirlah lampu pijar listrik pertama yang mampu menyala selama 40 jam.

Masih banyak lagi hasil penemuan Edison yang bermanfaat. Secara keseluruhan Edison telah menghasilkan 1.039 hak paten. Penemuannya yang jarang disebutkan antara lain : telegraf cetak, pulpen elektrik, proses penambangan magnetik, torpedo listrik, karet sintetis, baterai alkaline, pengaduk semen, mikrofon, transmiter telepon karbon dan proyektor gambar bergerak.

Thomas Edison juga berjasa dalam bidang perfilman. Ia menggabungkan film fotografi yang telah dikembangkan George Eastman menjadi industri film yang menghasilkan jutaan dolar seperti saat ini. Dia pun membuat Black Maria, suatu studio film bergerak yang dibangun pada jalur berputar.

Melewati tahun 1920-an kesehatannya kian memburuk dan beliau meninggal dunia pada tanggal 18 Oktober 1931 pada usia 84 tahun.


Beberapa tokoh yang sukses tanpa ijazah:


4. Andi F. Noya







PimRed Metro TV ini belum lulus sarjana… Satu hal yang menarik, Andy sebenarnya adalah orang teknik.
Sejak lulus SD Sang Timur di Malang, Jawa Timur, pria kelahiran Surabaya ini sekolah di Sekolah Teknik Jayapura lalu melanjutkan ke STM Jayapura. “Tetapi sejak kecil saya merasa jatuh cinta pada dunia tulis menulis. Kemampuan menggambar kartun dan karikatur semakin membuat saya memilih dunia tulis menulis sebagai jalan hidup saya,” tutur Andy.


5. Adam Malik

 Adam Malik Batubara (lahir di Pematangsiantar, Sumatera Utara, 22 Juli 1917 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 5 September 1984 pada umur 67 tahun) adalah mantan Menteri Indonesia pada beberapa Departemen, antara lain beliau pernah menjabat menjadi Menteri Luar Negeri. Ia juga pernah menjadi Wakil Presiden Indonesia yang ketiga.

Ternyata orang yg dikabarkan Agen CIA ini ternyata gak pernah ngenyam bangku sekolah.



6. M.H.Ainun Najib



Emha Ainun Nadjib hanya tiga bulan kuliah, Pendidikan formalnya hanya berakhir di Semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelumnya dia pernah ‘diusir’ dari Pondok Modern Gontor Ponorogo karena melakukan ‘demo’ melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya, kemudian pindah ke Yogya dan tamat SMA Muhammadiyah I. Selebihnya Beliau jadi pengembara ilmu di luar sekolah hingga dia bisa jadi manusia dengan bermacam sebutan (multifungsi).








7. Abdullah Gymnastiar

Kiayi yang kmarin2 ini santer dengan kasus poligaminya,ternyata sukses menjadi kiayi dan wirausahawan (pengusah besar) tanpa ijazah. walaupun sudah lulus, tapi dikabarkan sampai saat ini blm mengambil ijazahnya.

8. Ajip Rosidi


dengan tak mau mengikuti ujian akhir SMA nya. Dia menolak ikut ujian karena waktu itu beredar kabar bocornya soal-soal ujian. Dia berkesimpulan bahwa banyak orang menggantungkan hidupnya kepada ijazah. “Saya tidak jadi ikut ujian, karena ingin membuktikan bisa hidup tanpa ijazah”. Dan itu dibuktikan dengan terus menulis, membaca dan menabung buku sampai ribuan jumlahnya. Walhasil sampai pensiun sebagai guru besar tamu di Jepang, Dia yang tidak punya ijazah SMA , pada usia 29 tahun diangkat sebagai dosen luar biasa Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. Lalu jadi Direktur Penerbit Dunia Pustaka Jaya, Ketua Ikapi Pusat, Ketua DKJ dan akhirnya pada usia 43 tahun menjadi profesor tamu di Jepang sampai pensiun.
Berikut Sejarah Pendidikan Beliau :

* Sekolah Rakyat 6 tahun di Jatiwangi (1950)
* Sekolah Menengah Pertama Negeri VIII Jakarta (1953)
* Taman Madya, Taman Siswa Jakarta (1956, tidak tamat)


9. Bob Sadino

Bob Sadino lahir dari sebuah keluarga yang hidup berkecukupan. Ia adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Sewaktu orang tuanya meninggal, Bob yang ketika itu berumur 19 tahun mewarisi seluruh harta kekayaan keluarganya karena saudara kandungnya yang lain sudah dianggap hidup mapan. Bob kemudian menghabiskan sebagian hartanya untuk berkeliling dunia dan tidak melanjutkan kuliah. Dalam perjalanannya itu, ia singgah di Belanda dan menetap selama kurang lebih 9 tahun. Di sana, ia bekerja di Djakarta Lylod di kota Amsterdam dan juga di Hamburg, Jerman. Ketika tinggal di Belanda itu, Bob bertemu dengan pasangan hidupnya, Soelami Soejoed.
Pada tahun 1967, Bob dan keluarga kembali ke Indonesia. Ia membawa serta 2 Mercedes miliknya, buatan tahun 1960-an. Salah satunya ia jual untuk membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan sementara yang lain tetap ia simpan. Setelah beberapa lama tinggal dan hidup di Indonesia, Bob memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya karena ia memiliki tekad untuk bekerja secara mandiri.


10. Andrie Wongso

Anak ke-2 dari 3 bersaudara ini terlahir dari sebuah keluarga miskin di kota Malang. Di usia 11 tahun (kelas 6 SD), terpaksa harus berhenti bersekolah karena sekolah mandarin tempat andrie kecil bersekolah ditutup. Maka SDTT, Sekolah Dasar Tidak Tamat, adalah gelar yang disandangnya saat ini. Masa kecil hingga remajanya pun kemudian dilalui dengan membantu orang tuanya membuat dan berkeliling berjualan kue ke toko-toko dan pasar.



No comments:

Post a Comment